Di Usianya yang Sudah 82 Tahun Wanita ini Masih Mengembangkan Perangkat Lunak untuk Iphone

Masako Wakamiya. Nenek usia 82 tahun ini merupakan pengembang perangkat lunak, tepatnya aplikasi untuk iPhone. Usianya sudah di atas 60 tahun ketika ia mulai belajar coding serta berbagai keterampilan maupun ilmu lainnya. Ia belajar secara mandiri, otodidak. Khusus berkait pengembangan aplikasi untuk iPhone, awalnya karena merasa cukup frustrasi dengan aplikasi iPhone yang tidak menarik bagi lansia. Ia kemudian memutuskan untuk belajar pemrograman agar dapat membuat aplikasi sendiri.

Jangan salah. Pribumi Jepang asal Fujisawa ini sebelumnya tidak menguasai ilmu komputer. Pensiunan pegawai bank ini memerlukan waktu 3 bulan untuk bisa melakukan koneksi internet melalui komputer, menandakan bahwa sebelumnya ia masih asing dengan internet. Ia terus menerus belajar sampai akhirnya mulai menguasai keterampilan komputer sederhana.

Ada ungkapan sederhana yang menarik kita pelajari dari nenek Masako Wakamiya. Ia berkata sebagaimana dilansir oleh AFP, 7 Agustus 2017, dalam tulisan bertajuk Never too Old to Code, "Begitu Anda tua, Anda kehilangan banyak hal: suami Anda, pekerjaan Anda, rambut Anda, penglihatan mata Anda. Kekurangan tersebut cukup banyak. Tetapi ketika Anda mempelajari sesuatu yang baru, apakah itu bahasa pemrograman ataukah piano, ini sebuah kelebihan, ini memotivasi."

"Begitu Anda meraih kehidupan profesional Anda, maka Anda perlu kembali ke sekolah. Di era internet, jika Anda berhenti belajar, ia membawa berbagai konsekuensi dalam kehidupan Anda sehari-hari," jelas Wakamiya yang mulai belajar piano usia 75 tahun tersebut.

Atas prestasinya ini, Wakamiya mendapar kehormatan untuk tampil pada ajang bergengsi Worldwide Developers Conference ke-17 (WWDC 17) dimana para pengembang aplikasi dari seluruh dunia berkumpul. Dia datang atas undangan Apple dan dia merupakan pengembang aplikasi tertua di antara seluruh yang ada. Sebuah pelajaran penting betapa kita tidak boleh berhenti ketika mendapati keterbatasan dalam diri kita.

Pelajaran berharga lainnya tentang kiprah dan keterbatasan adalah kisah Nurma, ibu rumah-tangga tamatan SD yang menjadi guru bagi penduduk kampungnya. Ia mengubah desanya, Meudidi yang terletak di kaki Gunung Leuser, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur dari desa dengan mayoritas penduduk buta huruf menjadi desa aksara. Perempuan penuh semangat ini melakukan perubahan besar tanpa gaji, tanpa dukungan finansial memadai, tanpa fasilitas yang bagus. Tetapi titik awal perubahan memang bukan dari fasilitas. Titik awal perubahan itu maa bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ). Apa-apa yang ada pada jiwa mereka.




Mohammad Fauzil Adhim

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.